E-Government Kunci Keberhasilan Otonomi Daerah



Terintegrasinya sistem teknologi dan informasi dewasa ini mempengaruhi lembaga publik seperti pemerintah daerah. Sistem pemerintahan daerah sekarang ini sudah mulai diintegrasikan dalam suatu teknologi yang dapat dikendalikan dari pusat pemerintahan. Sebagai contoh adalah dengan adanya penerapan electronic-government (e-government) yang mulai diterapkan di Indonesia. Sebagai gambaran,  e-government tidak membutuhkan penyelenggara negara (aparatur pemerintah) yang banyak, melainkan sedikit tapi handal, memenuhi prinsip efektifitas dan efisiensi dalam menyelenggarakan tugas-tugasnya yang bisa melahirkan profesionalitas.  Inilah salah satu tantangan pemerintah (daerah) saat ini dan masa datang. Tentunya, untuk menghadapi perubahan tersebut, idealnya dari sekarang sudah diupayakan penataan terhadap sumber daya manusianya.
Tidak disangkal lagi bahwa teknologi informasi dan komunikasi dapat digunakan untuk menunjang dalam sistem operasional dan manajerial dari berbagai kegiatan institusi yang di dalamnya termasuk kegiatan pemerintahan dalam hal penyelenggaraan pelayanan publik kepada masyarakat.

Penerapan e-Government
Pelaksanaan Otonomi Daerah yang telah digulirkan oleh pemerintah sejak tahun 2001 yang kemudian dengan Keputusan politik pemerintah yang  menetapkan kebijakan desentralisasi melalui Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 jo UU 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, berimplikasi bukan saja bagi daerah-daerah tetapi juga bagi pemerintahan pusat sendiri. Implikasi tersebut terlihat dari perubahan dalam pelaksanaan pemerintahan di daerah,  salah  satu perubahan itu adalah pemberian wewenang yang lebih luas dalam penyelenggaraan beberapa bidang pemerintahan terutama terkait dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi dalam hal penyelenggaraan pelayanan publik oleh beberapa pemerintah daerah di Indonesia.Peluang untuk menerapkan e-government dengan memanfaatkan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi sangat besar.
Peluang tersebut didukung oleh kebijakan pemerintah pusat dengan berbagai kebijakan mulai dari kebijakan yang berupa Undang-Undang sampai keputusan presiden atau keputusanmenteri (J Surat Djumadal, http://www.depkoinfo.go.id/download/IT-DIYogya.pdf,). Seiring dengan bertambah luasnya kewenangan ini, maka aparat birokrasi pemerintahan di daerah dapat mengelola dan menyelenggaraan pelayanan publik dengan lebih baik sesuai  dengan kebutuhan masyarakatnya.
Ketika dihadapkan pada proses penyelenggaraannya pelayanan publik dengan  orientasi pada kekuasaan yang amat kuat, selama ini telah membuat birokrasi menjadi semakin jauh dari misinya untuk memberikan sebuah pelayanan. Sekarang ini kualitas pelayanan publik masih diwarnai oleh pelayanan yang sulit untuk diakses, prosedur yang berbelit-belit ketika harus mengurus suatu perijinan tertentu, biaya yang tidak jelas serta terjadinya praktek pungutan liar (pungli), merupakan indikator rendahnya kualitas pelayanan publik di Indonesia (Agus Sudrajat, http/www/Good Governance and Anticoruption-Indonesia.go.id/pdf/ ) hal ini disebabkan oleh birokrasi dan para pejabat lebih menempatkan dirinya sebagai penguasa dari pada sebagai pelayan masyarakat.
Hal demikian dikarenakan realitas dari pelaksanaan  otonomi daerah tidak sesuai dengan yang diharapkan, yang pada prinsipnya dapat lebih meningkatkan kualitas pelayanan publik, memperbaiki derajat kesejahteraan serta kelayakan hiduprakyat, di mana pemerintahan dan pembangunan dikelola dalam proses-proses yang demokratis   (Ginanjar Kartasasmita, http://.Pikiranrakyat.com/cetak/2006/122006/05/0901.htm)
Ada banyak penjelasan yang bisa digunakan untuk memahami mengapa pemerintah dan birokrasi gagal mengembangkan kinerja pelayanan yang baik. Kemampuan dari suatu sistem pelayanan publik dalam merespon dinamika yang terjadi dalam masyarakatnya secara tepat dan cepat serta efisien akan sangat ditentukan oleh bagaimana misi birokrasi dapat dipahami dan dijadikan sebagai basis kriteria dalam pengambilan kebijakan oleh birokrasi itu. Ketidakjelasan misi juga membuat orientasi birokrasi dan pejabatnya pada prosedur dan peraturan menjadi amat tinggi. Apalagi dalam birokrasi publik Indonesia yang cenderung menjadikan prosedur dan peraturan sebagai panglima, maka ketidakjelasan misi birokrasi publik mendorong para pejabat birokrasi publik menggunakan prosedur dan aturan sebagai kriteria utama dalam penyelenggaraan pelayanan.
Gaya manajemen yang terlalu berorientasi kepada tugas (task oriented) juga menyebabkan pegawai menjadi tidak termotivasi untuk menciptakan hasil yang nyata dan kualitas pelayanan publik yang prima. Formalitas dalam rincian tugas organisasi menuntut keseragaman yang tinggi. Akibatnya para pegawai takut berbuat salah dan cenderung menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan sesuai dengan petunjuk pelaksana (juklak) dan petunjuk teknis (juknis), walaupun keadaan yang ditemui dalam kenyataan sangat jauh berbeda degan peraturan-perturan teknis tersebut (Wahyudi Kumorotomo , 2005: 101).
Untuk mengatasi penyelenggaraan pelayanan publik yang lambat maka pemerintah melakukan inovasi pemberian pelayanan publik dengan memanfaatkan teknologi informasi yaitu berupa penerapan E-Government.Ide dasar Penerapan e-government sebenarnya adalah pada kebijakan ’buatlah sekali saja” dimana badan-badan/dinas-dinas dan lembaga pemerintaha berusaha menghindari duplikasi usaha, mematuhi standar-standar umum dan menggunakan infrastruktur yang sama untuk melayani warga masyarakat tanpa sekat. Semangat yang ingin disampaikan dalam Penerapan e-government adalah transparansi. Diharapkan dengan transparansi korupsi dapat dikurangi.


Dari uraian di atas, kita dapat memahami bahwa pengertian e-government sangat bervariasi. Walaupun terdapat definisi yang berbeda-beda, namun dalam definisi di atas terdapat beberapa kesamaan dalam hal karakteristik dari e-government yaitu:

1.          Merupakan suatu mekanisme interaksi baru (modern) antara pemerintah, masyarakat dan swasta atau  kalangan yang berkepentingan (stakeholders)
2.          Melibatkan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi ICT (terutama internet) sebagai alat.
3.          Tujuan adalah untuk meningkatkan kualitas layanan, efisiensi, efektivitas, transparansi dan akuntabilitas
4.          Objek layanan adalah layanan pemerintah.

Upaya pengembangan e-government dapat dilakukan dalam beberapa tahap atau tingkatan. Dalam implementasinya, dapat dilihat sedemikian beragam tipe pelayanan yang ditawarkan oleh pemerintah kepada masyarakatnya melalui e-government.

Daftar pustaka :


Comments

Popular posts from this blog

BAB III ( KASUS ) - Kecelakaan Proyek Tol Pasuruan-Probolinggo, 1 Tewas dan 2 Luka-luka

ISTANA TOPKAPI - Istanbul,turki

Mungkinkah Cinta ini hanya Nafsu belaka