Mari sukseskan polstranas
Perjuangan Indonesia untuk kemerdekaan di menangkan tidak atas dasar kekuatan senjata belaka.pemakaian seimbang dan serasi antara unsure inteligensi kekuatan jiwa bangsaindonesia di satu pihak, yang di dalam perjuangan fisik dapat mempersatukan rakyat lebih dari 13.667 buah pulau menjadi satu masa melawan belanda, dengan unsur kekerasan, yaitu militer dan rakyat yang militant di lain pihak, menghasilan kemenangan yang gilang-gilang dalam waktu hanya 5 tahun saja. Karena cetusan kalbu bangsa Indonesia tersebut banyak bangsa terjajahberani mengadakan perjuangan terhadap penjajahan mereka masing-masing untuk memperoleh kemerdekaan. Perjuangan bangsa Indonesia sejak awalnya sudah berazas Revolution of Human Conscience. Dengan demikian maka perjuangan bangsa Indonesia adalah prabawa dari azas geopolitik, satu panggilan untuk menyebarkan benih yang sudah lama terpendam, yaitu benih human conscienceness, benih fitrah khas umat manusia. Suatu perjuangan sebagai pancaran Amanat Penderitaan Rakyat, bahkan amanat penderitaan umat manusia, akibat penjajahan, penindasan dan pengisapan, mengakibatkan perjuangan Indonesia bercorak aneka muka dan merupakan perjuangan umat manusia dan atau perjuangan dunia, yang bercita-cita tinggi, yaitu pembentukan suatu Dunia baru bersih dari imperialisme dan kolonialisme di dalam segala bentuk dan manifestasinya menuju perdamaian dunia sempurna abadi.
Perjuangan
berdasarkan pancasila sebagai azas bangsa Indonesia, melandasi bukan saja
pelaksanaan perjuanganya, melainkan juga penemuan kembali integritas bangsa
Indonesia dan merupakan kekuatan pendorong penyebaran ideologi pancasila. Di
tinjau dari sejarah dan dari letak geografi, jiwa manusia yang hidup di atasnya
dan lingkungan, timbullah beberapa faktor yang merupakan potensi atau kekuatan
yang di gunakan untuk merealisasikan perjuangan tersebut maupun adanya
masalah-masalah atau problem yang harus di hadapi sebagai hakekat ancaman.
Potensi serta masalah-masalah tersebut merupakan faktor-faktor yang
mempengaruhi politik dan strategi nasional, yang terdiri dari unsur-unsur
ideologi, politik, ekonomi, sosial-budaya, Hankam, dan hekekat ancaman.
a. Ideologi dan Politik
Potensi ideologi
dan politik di himpun dalam pengertian kesatuan dan persatuan nasional yang
menggambarkan kepribadian bangsa, keyakinan atas kemampuan sendiri dan yang
berdaulat serta berkesanggupan untuk menolong bangsa-bangsa yang masih di jajah
guna mencapai kemerdekaannya. Mengadakan kerja sama regional serta membentuk
dan mewujudkan kesetabilan di wilayah Asia Tenggara dan mengusahakan adanya
kerja sama internasional dalam rangka perjuangan dalam menghapuskan imperialism
dan kolonialisme dalam segala bentuk dan manifestasinya dan dari mana pun
datangnya, keseluruhan itu tidak terlepas terhadap penggabdian untuk
kepentingan nasional.
b. Ekonomi
Kesuburan,
kekayaan alam, maupun tenaga kerja yang terdapat di Indonesia merupakan potensi
ekonomi yang besar sekali bukan saja untuk mencukupi kebutuhan rakyat
Indonesia, bahkan kemungkinan mampu untuk membantu mencukupi keperluan dunia.
Jumlah penduduk Indonesia secara cepat berkembang, dapat di dalam waktu yang
tidak terlalu lama membawa Indonesia menjadi kekuatan yang perlu di
perhitungkan adalah baik jiwa di kembangkan bakat dan kemampuan di bidang
ekonomi yang di wariskan kepada kita. Secara fisik Indonesia menduduki posisi
silang antara 2 (dua) benua dan 2 (dua) samudra. Posisi silang Indonesia itu
tidak hanya bersifat fisik saja. Tetapi saja mempunyai pengaruh terhadap
ideologi, politik, sosial, ekonomi, militer, dan demografi, di mana penduduk
terdapat di antara Negara yang berpendudukan minus di selatan (Australia) dan penduduk
yang besar di utara (RRC).
c. Sosial Budaya
Bangsa Indonesia
yang terdiri dari banyak suku, bahasa, dan dialek serta beraneka warna tradisi
atau adat-istiadat, mempersulit persatuan dan kesatuan bangsa. Tetapi justru
ke-Bhinneka Tunggal Ika-an inilah merupakan kekuatan kita, karena ruang hidup
(lebensraum) yang sama dan persamaan juga di dalam penderitaan serta
penanggungan. Bahaya pemecahan mudah sekali timbul, sukuisme dan rasialisme
merupakan tantangan dan ancaman laten. Oleh sebab itu segala daya dan dana
harus di kerahkan dan di manfaatkan untuk kepentingan preservation of national
unity. Ke- Bhennika Tunggal Ika-an merupakan pengikat persatuan ampuh.
d. Hankam
Perjuangan
Indonesia sekaligus telah melahirkan Negara Republik Indonesia dan
kekuatan-kekuatan bersenjata dari kandungan rakyat yang terus-menerus di
bimbingkan dan dikembangkan. Kekuatan-kekuatan bersenjata tersebut telah
melampaui proses-proses penyempurnaan, baik kualitatif maupun kuantitatif yang
secara kronologis pertumbuhan itu selalu menyesuaikan dengan
kebutuhan-kebutuhan pertahanan dan keamanan nasional yang menjadi satu-satunya
hak milik nasional yang masih tetap untuk walaupun telah menghadapi segala
macam kekuatan sosial dalam perjuangan Indonesia serta memiliki potensi yang di
sebut sistem Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta (SISHANKAMRATA).
Implementasi Politik dan Strategi Nasional (dari waktu kewaktu)
a. tahun
1945-1966
Sejak berdirinya
NKRI, bangsa Indonesia telah melaksanakan pembangunan nasional sampai tahun
1966 dengan visi National and Character Building. Tujuanya; menanamkan dan
menumbuhkan kecintaan pada tanah air, kesadaran berbangsa dan bernegara
Indonesia, dan keyakinan akan ideologi Pancasila serta rela berkorban untuk
nusa dan bangsa.
Politik dan
Strategi Nasional disusun oleh MPR dengan mengacu pada UUD 1945 (sebelum
amandemen) pasal 3, yang menyatakan: MPR menetapkan UUD dan garis-garis besar
daripada haluan negara. Dalam penjelasanya dinyatakan bahwa mengingat dinamika
masyarakat, sekali dalam lima tahun majelis memperhatikan segala yang terjadi
dan segala aliran-aliran pada waktu itu dan menentukan haluan-haluan apa yang hendaknya
dicapai pada kemudian hari. Tahap awal Orde Baru, yaitu 1961-1966 masih
melanjutkan Orde Lama dengan visi yang sama.
b. (GBHN) 1966
Pada periode ini
dilaksanakan Sidang Umum MPR(S), yaitu 1966, 1967, 1968. Sidang pertama yang
menghasilkan 24 ketetapan, yaitu ketetapan MPR (S) Nomor IX sampai XXXII
Walaupun ketetapan tersebut tidak dengan menyerahkan GBHN tetapi merupakan
haluan yang hendak dicapai. Pada sidang MPR(S) 1968 ditetapkan Soeharto sebagai
Presiden RI, sampai terpilih Presiden oleh MPR hasil pemilihan umum (pemilu).
Sidang ini menetapkan penyusunan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) dan
pelaksanaan pemilu paling lambat 5 juli 1971.
c. GBHN 1973
GBHN 1973
mengandung pengertian haluan negara dalam garis-garis besar yang pada
hakikatnya adalah suatu Pola Umum Pembangunan Nasional yang ditetapkan MPR,
yang merupakan rangkaian program pembangunan disegala bidang yang berlangsung
secara terus-menerus untuk mewujudkan tujuan nasional GBHN dijelaskan sebagai
Pola Dasar Pembangunan Nasional, Pola Dasar Pembangunan Jangka Panjang (PJP),
dan Pola Umum Pembangunan Lima Tahun (Pelita) kedua.
Naskah GBHN 1973
terdiri atas: Bab I Pendahuluan yang memuat pengertian, maksud dan tujuan,
landasan, pokok-pokok penyusunan dan penuangan GBHN, dan pelaksanaan; Bab II
Pola Pembangunan Nasional, meliputi Tujuan Pembangunan Nasional, Landasan
Pembangunan Nasional, asas-asas Pembangunan Nasional, Modal Dasar dan Faktor
Dominan, dan Wawasan Nusantara. Bab III Pola Umum PJP (25-30 tahun), meliputi
sasaran pembangunan jangka panjang di bidang ekonomi, agama dan kepercayaan
kepada Tuhan Yang Maha Esa, Sosial budaya, politik, pertahanan keamanan. Bab IV
Pola Umum Pelita, mencakup pendahuluan, tujuan, prioritas, arah dan
kebijaksanaan pembangunan di bidang ekonomi, agama dan kepercayaan kepada Tuhan
Yang Maha Esa serta sosial budaya, politik; aparatur pemerintahan; hukum; dan
hubungan luar negeri, pertahanan keamanan, dan pelaksanaan pelita kedua.
d. GBHN 1978
Pada GBHN 1978
terdapat penambahan substansional pada pola dasar pembangunan nasional, yaitu:
1. Asas GBHN 1973, yaitu asas keimanan dan
ketakwan, asas manfaat, asas demokrasi, asas adil dan merata, asas
keseimbangan; ditambah dua asas yaitu asas hukum dan asas kemandirian, (dari
pada GBHN 1993 bertambah lagi dengan asas kejuangan, asas ilmu pengetahuan dan
teknologi: seluruh asas menjadi 9).
2. Modal Dasar GBHN 1973 adalah kemerdekaan
dan kedaulatan bangsa dan negara Indonesia, jiwa dan semangat persatuan dan
kesatuan bangsa, wilayah nusantara, kekayaan alam, penduduk, rohaniah dan
mental, budaya bangsa, potensi dan kekuatan efektif bangsa (antara lain
Golongan Karya), ditambah ABRI sebagai pertahanan keamanan.
3. Faktor Dominan GBHN 1973 adalah
kependudukan dan sosial budaya, wilayah, sumber daya alam, kualitas manusia
Indonesia, disiplin nasional, manajemen nasional, perkembangan nasional,
kemungkinan pembangunan.
4. Konsepsi Ketahanan Nasional disamping
konsep Wawasan Nusantara sebagai acuan pembangunan nasional. Dalam GBHN 1978
ditekankan akan pentingnya upaya: pemenuhan kebutuhan pokok rakyat, pembangunan
politik untuk kesadaran berbangsa dan bernegara serta mewujudkan pemerintah
yang bersih dan berwibawa, menciptakan suasana kemasyarakatan, koperasi sebagai
salah satu bentuk badan usaha.
e. GBHN 1983
Pada era ini
tidak terdapat perubahan atau penambahan, hanya terdapat penekanan kembali
untuk mempercepat sasaran pembangunan jangka panjang (PJP) dengan kekuatan
sendiri yang berlandaskan Pancasila. Kehidupan bermasyarakat berbangsa, dan
bernegara yang berdasarkan Pancasila dengan diterimanya dan disepakatinya
Pancasila sebagai satu-satunya asas.
f. GBHN 1988
Yang terpenting
dalam GBHN 1988 adalah dirumuskanya PJP kedua, karena menjelang Pelita kelima
PJP kedua harus telah dirumuskan, dan penekanan kembali pembangunan sebagai
bentuk pengamalan Pancasila.
g. GBHN 1993
seperti yang
terdahulu; Presiden Suharto terpilih kembali menjadi presiden periode
1988-1993, manugasi Mahmud Soebarkah, Sekretaris Dewan Pertahanan Keamanan
Nasional (Wanhamkamnas) menyusun bahan GBHN 1993; dengan memperhatikan:
a. PJP I akan berakhir;
b. PJP II akan dimulai;
c. PJP II yang dimulai pada akhir Pelita
ke-6 merupakan proses Tingal Landas sekaligus sebagai Kebangkitan Nasional II.
Makna
pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila, yaitu meletakkan landasan
spiritual; moral dan etik yang kukuh, meningkatkan martabat serta hak dan
kewajiban atas warganegara, memperkuat rasa kesetiakawanan dalam rangka
memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa, menumbuhkan dan mengembangkan sistem
politik demokrasi Pancasila, dan mengembangkan pertumbuhan ekonomi berdasarkan
asas kekeluargaan.
Hakikat
pembangunan nasional adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan
pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya, mewujudkan kehidupan yang sejajar
dan sederajat dengan bangsa lain yang telah maju, pembangunan dari/oleh/untuk
rakyat yang meliputi aspek politik; ekonomi; sosial budaya; pertahanan
keamanan, menghendaki keselarasan hubungan dengan Tuhanya antara sesama manusia
dan lingkungan alam sekitarnya, masyarakat adalah pelaku utama pembangunan dan
pemerintahan wajib mengarahkan; membimbing; serta menciptakan suasana yang
menunjang, pendayagunaan seluruh sumberdaya nasional. Tujuan pembangunan
nasional ialah mewuijudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata
materiil dan sepiritual berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dalam wadah NKRI
yang merdeka, berdaulat, bersama, bersatu, dan berkedaulatan rakyat dalam
suasana perikehidupan bangsa yang aman, tenteram, tertib, dan dinamis dalam
lingkunagn pergaulan dunia yang merdeka, bermartabat, tertib, dan damai.
h. GBHN 1999-2004
1. Dasar poemikiran
Pembangunan
nasional yang selama ini dilakukan lebih berpusat pada pertumbuhan ekonomi
tidak diimbangi dengan pembangunan di bidang kehidupan sosial, politik, ekonomi
yang demokratis dan berkeadilan sehingga terjadi krisis ekonomi, maka reformasi
di segala Bidang dilaksanakan untuk bangkit kembali dan memperteguh kepercayaan
diri atas kemampuan dan melakukan langkah-langkah penyelamatan, pemulihan,
pemantapan, dan pengembangan dengan paradigm baru di Indonesia masa depan yang
berwawasan kelautan.
2. Kondisi Umum
NKRI yang
merupakan dasar pembangunan nasional, telah kukuh tetapi masih ada ancaman,
hambatan, dan gangguan berupa kemajemukan dan sentralisai otoritas berpotensi
terjadinya disintergrasi bangsa. System “absolute” dan kekuasaan presiden
berlebihan melahirkan budaya korupsi, kolusi, nepotisme sehingga terjadi krisis
multidimensional seluruh aspek kehidupan. Ketidak pekaan pemerintah terhadap
situasi kondisi dan situasi Negara membangkitkan gerakan reformasi yang telah
mendorong terjadinya kemajuan dibidang politik, penegakan kedaulatan rakyat,
peningkatan peranmasyarakat disertai pengurangan dominasi pemerintah.
Selain itu
ancaman disintegrasi di bebagai daerah seperti Maluku, Aceh, Irian jaya
merupakan ketidak puasan terhadap kebijakan pemerintah pusat yang perlu segera
dikoreksi. Di bidang hukum terjadi kontroversial, produk hukum dan perangkatnya
menunjukkan peningkatan tetapi kesadaran hukum melemah sehingga supremasi hukum
tidak terlaksana dengan benar. Tekad membarantas segala penyelewengan belum
diikutu dengan langkah nyata karena proses peradilan yang mandul sehingga
terjadi krisis hukum. Hukum juga
melaksanakan HAM sehingga terjadi diskriminasi, kekerasan, dan
kesewenangan-wenangan. Tingakat kepercayaan terhadap TNI dan POLRI berkurang
karena digunakan sebagai alat kekuasaan, gangguan keamanan, dan ketertiban
serta pelanggaran HAM meningkat.
System ekonomi
yang terpusat menimbulkan kesenjangan ekonomi antara pusat dan daerah, anatara
daerah, antar pelaku ekonomi, antar golongan sehingga memunculkan monopoli
ekonomi oleh tangan sekelompok kecil masyarakat. Pengangguran semakin meningkat dan meluas berdampak pada
keamanan dan ketertiban, kesehatan yang dapat menurun dan kualitas fisik dan
intelektual manusia Indonesia. Sementara pemanfaat sumber daya alam tidak
terkendali berakibat pada merusak lingkungan.
Pendidikan
kurang berorientasi pada akhlak dan moralitas sehingga masyarakat kurang
memiliki toleransi dan kebersamaan.
Pengembangan IPTEK belum dimanfaatkan secara optimal dalam kehidupan. Kehidupan
agama juga belum memberikan jaminan peningkatan kualitas iman dan takwa
sehingga merebak penyakit sosial. Peranan perempuan masih koordinatif dan
kualitas serta peranan generasi muda menurun. Luasnya lingkup pembangunan
daerah, membuat otonom daerah belum didukung oleh kemampuan SDM yang memadai.
Dan posisi tawar politik luar negeri Indonesia sangat lemah.
Kondisi umum
Indonesia menunjukkan kecenderungan kualitas kehidupan dan jatidiri bangsa
menurun. Untuk itulah bangsa Indonesia, terutama pemerintah, elite politik, dan
pemuka masyarakat bersatu dan bekerja keras melkasanakan reformasi untuk
meningkatkan harkat, martabat, dan kesejahtreaan bangsa Indonesia.
3. Visi
Terwujudnya
masyarakat Indonesia yang damai, demokratis, berkadilan, berdaya asing, maju,
dan sejahtera dalam wadah NKRI yang didukung oleh manusia Indonesia yang sehat,
mandiri, beriman, bertakwa, berakhlak mulia, cinta tanah air, kesadaran hukum
dan lingkungan, menguasai IPTEK, memiliki etos kerja yang tinggi serta
disiplin.
4. Misi
Untuk mewudjkan
visi bangsa Indonesia masa depan, ditetapkan misi sebagai berikut:
a. Pengamalan pancasilasecara konsisten
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
b. Penegakan kedaultan rakyat dalam segala
aspek kehidupan bermasyrakat, berbangsa, dan bernegara;
c. Peningkatan pengamalan agama;
d. Penjaminan kondisi aman, damai, tertib,
dan ketentraman masyarakat;
e. Perwujudan system hukum nasional yang
menjamin tegaknya suprermasi hukum dan HAM berlandaskan keadilan dan kebenaran;
f. Pemberdayaan masyarakat dan seluruh
kekuatan ekonomi nasional, terutama pengusaha kecil, menegah, dan koperasi
dengan mengembangkan system ekonomi kerakyatan yang bertumpu pada mekanisme
pasar yang berkeadilan berasas pada sumber daya alam dan SDM yang produktif,
mandiri, maju, berdaya saing, berwawasan lingkungan dan berkelanjutan;
g. Perwujudan kehidupan sosial budaya yang
berkepribadian, dinamis, kreatif , dan berdaya tahan terhadap pengaruh
globalisasi;
h. Perwujudan otonomi daerah dalam rangka
pembangunan daerah dan pemerataan pertumbuhan dalam wadah NKRI;
i. Perwujudan kesejahteraan rakyat yang
ditandai oleh meningkatnya kualitas kehidupan yang layak dan bermartabat serta
member perhatian utama pada tercukupinya kebutuhan dasar yaitu pangan, sandang,
papan, kesehatan, pendidikan, dan lapangan pekerjaan;
j. Perwujudan system dan iklim pendidikan
nasional yang demokratis dan bermutu, guna memperteguh akhlak mulia, kreatif,
inovatif, berwawsan kebangsaan, cerdas, sehat, disiplin, dan bertanggung jawab,
berketerampilan serta menguasai IPTEK dalam rangka mengembangkan kualitas
manusia Indonesia;
k. Perwujudan politik luar negeri yang
berdaulat, bermartabat, bebas dan proaktif bagi kepentingan nasional
dalammenghadapi perkembangan global;
l. Perwujudan aparatur Negara yang
berfungsi melayani masyarakat professional, berdaya guna, produktif,
transparan, bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme.[16] (Diky Aprianto, 2014)
Peran Warganegara dalam Mewujudkan Poltranas
Istilah
“warganegara” dalam konteks kosa kata Indonesia merujuk pada atau terjemahan
dari kata “citizen” dalam bahasa Inggris atau “citoyen” dalam bahasa Perancis.
Berawal dari konsep “citizen” inilah kita biasa memberikan pemaknaan yang luas
mengenai warganegara. Dengan mengkaji makna “citizen” nantinya akan dapat
diketahui bahwa istilah “warganegara” sesungguhnya belum cukup untuk mewakili
konsep “citizen”[21]. (Febri Bagus Prakoso, 2014)
Warganegara
adalah aspek yang dimiliki suatu negara dalam kancah yang terpenting. Hal
tersebut dikarenakan warganegara adalah aktor mobilitas dari perjalanan suatu
negara. Kemanapun dan abagaimanapun masadepan negara tergantung warganegara
yang menentukanya, makadari itu warganegara merupakan suatu aspek yang begitu
penting dalam negara.
Sesuai dengan
pengertian Polstranas yang dijelaskan sebelumnya, bahwa Polstranas hakikatnya
adalah perwujudan upaya yang dipikirkan sebagai perilaku penjagaan supaya
perjalanan suatu negara sesuai dengan apa yang dirancang dan diharapkan. Sebagai
aktor dari itu semua, warganegara memiliki peranan yang begitu luarbiasa dalam
hal ini. Peran warganegara dapat dijelaskan dan difungsikan dalam dasar teori
yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara, dan berikut teorinya:
1. Ing ngarsa sung tuladha;
2. Ing madya mangun karsa;
3. Tut wuri handayani.
Ing ngarsa sung
tuladha, yaitu mengandung filosofi dalam konteks kewarganegaraan, seorang
warganegara harus dapat memposisikan dirinya. Dan dalam acuan Ing ngarsa sung
tuladha, seorang warganegara apabila berada didepan harus dapat berdiri sebagai
seorang pemimpin yang dapat memberikan contoh yang baik terhadap yang dipimpin.
Serta dapat menggiring masyarakat serta negara kepada perwujudan tujuan bersama
yang ingin dicapai. Apabila di ansumsikan terhadap Polstranas, Ing ngarsa sung
tuladha ini identik dengan seorang pemimpin atau orang orang yang berdiri dalam
kancah Legislatif (adalah lembaga yang “legislate” atau membuat undang-undang.
Anggota-anggotanya dianggap mewakili rakyat; maka dari itu badan ini serin
dinamakan dewan perwakilan rakayat; nama lain yang sering dipakai adalah
parlemen)[22] (Nur Avita M. A, 2014), Eksekutif (kekuasaan eksekutif biasanya
dipegang oleh badan eksekutif. Negara-negara demokratis badan eksekutif
biasanya terdiri dari kepala negara seperti raja atau presiden, beserta
menteri-menterinya. Badan eksekutif dalam arti luas juga mencakup para pegawai
sipil dan militer. Namun dalam hal ini hanya dipakai dalam arti sempitnya)[23]
(Nur Avita M. A, 2014), dan Yudikatif (suatu studi mengenai kekuasaan yudikatif
sebenarnya lebih bersifat teknis yuridis dan termasuk bidang ilmu hukum
daripada bidang ilmu politik, dan kekuasaan yudikatif erat kaitanya dengan
kekuasaan legislatif dan eksekutif)[24]. (Nur Avita M. A, 2014)
Ing madya mangun
karsa, yaitu dalam hal ini mengandung filosofi bahwa masyarakat dalam posisinya
yang ing madya dengan artian di tengah, memberikan gambaran bahwa posisi
warganegara yang berada ditengah berupaya untuk memberi semangat, motivasi, dan
stimulus agar pemimpin dapat mencapai kinerja yang lebih baik[25] (Diky
Aprianto, 2014). Sehingga dapat memberikan kekuatan besar dengan posisinya
ditengah dengan mengupayakan kemajuan didepan serta tidak melupakan yang
dibelakang atau dibawah untuk selalu diayomi dan digandengan menuju keinginnan
yang dicapai.
Tut wuri
handayani, yaitu dalam hal ini mengandung arti bahwa sebagai warganegara dalam
posisi berada di belakang haruslah selalu berperan aktif untuk memberikan
dorongan yang kuat dan arahan yang mendasar demi terwujudnya suatu tujuan
bersama. Dengan dihubungkan pada Polstranas disini posisi masyarakat yang
berada dibelakang ataupun masyarakat yang pada umumnya dapat memberikan jerih
upayanya untuk berjuang bersama mewujudkan politik dan setrategi nasional menuju
pembangunan nasional dan kesatuan bangsa yang kuat dan sesuai dengan gambaran
kemauan seluruh warganegara.
Dari uraian
tersebut menyatakan bahwa, dimanapun dan
bagaimanapun keadaan warganegara, tetap dapat memberikan peran aktif
dalam mengkontrol dan ikut serta pada pembangunan nasional dan pertahanan
bangsa sesuai dengan politik dan strategi nasional.
Selain itu, Ki
Hajar Dewantara juga mengemukakan suatu sikap kebangsaan yang perlu diterapkan
oleh bangsa indonesia untuk mewujudkan kehidupan berbangsa dengan penuh
partisipasi dan kesadaran. Berikut adalah uraian ungkapan Ki Hajar Dewantara
mengenai konsep kebangsaan:
1. Rasa kebangsaan adalah sebagian dari Rasa
Kebatinan kita manusia, yang hidup dalam jiwa kita tidak dengan disengaja. Asal
mulanya Rasa Kebangsaan itu timbul dari Rasa Diri, yang terbawa dari keadaan
perikehidupan kita, lalu menjalar jadi Rasa Keluarga; rasa ini terus jadi Rasa
Hidup bersama (rasa social). Adapun Rasa Kebangsaan itu sebagian dari atau
sudah terkandung di dalam arti perkataan Rasa Hidup bersama-sama itu, sedangkan
adalah kalanya Rasa Kebangsaan itu berwujud dengan pasti sebagai angan-angan
yang kuat dan mengalahkan segalah perasaan lain-lainnya. Wujudnya Rasa
Kebangsaan itu ialah dalam umumnya mempersatukan kepentingan Bangsa dengan
kepentingan diri sendiri: nasibnya bangsa dirasakan sebagai nasibnya sendiri,
kehormatan bangsa ialah kehormatan diri, demikianlah seterusnya.
2. Rasa Diri, yang menjalar menjadi Rasa
Keluarga dan Rasa Kebangsaan itu tumbuhnya selalu bersama-sama dengan tumbuhnya
persamaan keperluan dan keadaan, baik yang lahir, maupun yang batin, ekonomis,
dan kulitural, tentang penghidupan dan kehidupan. Dengan sendirinya terjadilah
persamaan adat-istiadat, yang menimbulkan aturan ketertiban dan keramaian dalam
hal perikehidupan bersama (pencaharian, urusan negeri, bahasa, agama, seni, dan
sebagainya).
3. Terjadinya persatuan rakyat yang bersifat
Bangsa itu tidak dengan seketika, akan tetapi lambat laun dengan melalui waktu
yang berabad-abad, dalam waktu mana terbuktilah persatuan perikehidupan yang
tersebut di atasitu, peristiwa bersatunya nilai-nilai kebatinan, yakni tambo,
bahasa, seni, agama, pengetahuan[26]. (Rima Wulandari, 2014)
4. dll
Diharapkan dari
hal ini dapat memunculkan suatu kesadaran kebangsaan dan nantinya dapat
menggunggah partisipasi apapun dalam penyelenggaraan Negara.
Daftar Pustaka :
- http://dikyaprianto0.blogspot.co.id/2014/11/polstranas-politik-dan-strategi.html
Daftar Pustaka :
- http://dikyaprianto0.blogspot.co.id/2014/11/polstranas-politik-dan-strategi.html
Comments
Post a Comment