Pengelolaan SDA Otonomi Daerah



Pada saat Indonesia dilanda ketidakpastian besar dalam bidang ekonomi, politik dan ekologi, otonomi daerah menjadi salah satu persoalan besar yang membayangi masa depan negeri ini. Otonomi daerah merupakan masalah yang cukup rumit mengingat ia bukan semata-mata sekedar pengalihan kekuasaan dari Jakarta ke tingkat daerah. Ia juga menyinggung masalah perkembangan demokrasi pada tingkat lokal dan melibatkan perubahan-perubahan besar dalam cara perekonomian Indonesia yang dihantam krisis ditangani. Persoalan otonomi daerah juga memunculkan persoalan mendasar tentang arah masa depan dan bentuk Indonesia sebagai negara demokratis.

Penerapan otonomi daerah ditujukan untuk mendekatkan proses pengambilan keputusan kepada kelompok masyarakat yang paling bawah, dengan memperhatikan ciri khas budaya dan lingkungan setempat, sehingga kebijakan public dapat lebih diterima dan produktif dalam memenuhi kebutuhan serta rasa keadilan masyarakat akar rumput, itulah idealnya aktualisasi dari otonomi daerah. Sebagaimana UU No.22/1999 tentang Daerah, yang lebih popular disebut UU Otonomi Daerah/Otda pada tahun 2001, dan telah diperbaharui dengan UU No.32/2004. UU ini merupakan tonggak baru dalam sistem pemerintahan Indonesia. UU Ototnomi Daerah ini terlahir dari pandangan bahwa negara Indonesia (NKRI) yang mempunyai wilayah (kepulauan) sangat luas, lautan lebih luas dari daratan. Mustahil dikelola dengan baik melalui system pemerintahan yang sentralistik.

Karena itu, diperlukan desentralisasi kekuasaan. Dengan desentralisasi, diharapkan jarak antara rakyat dengan pembuat kebijakan menjadi lebih dekat, baik secara politik maupun geografis, sehingga diharapkan kebijakan-kebijakan yang dihasilkan akan sesuai dengan hajat hidup rakyat. Artinya, pemerintah daerah yang pastinya lebih mengetahui kelemahan dan keunggulan daerahnya, baik dari sisi SDM dan SDA, dan pemerintah pusat diharapkan dapat membuat kebijakan-kebijakan yang lebih efektif guna memakmurkan masyarakat. UU Otonomi Daerah ini, Pemerintah Pusat memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk mengelola Sumber Daya Alam (SDA) dan lingkungan daerahnyasecara lebih efektif, efisien dan partisipatif. Pemberlakuan UU Otoda ini tidaklah sepi dari kontoversi. Ada pro dan kontra.

Daerah yang kaya SDA mendukung sepenuhnya. Sebaliknya, daerah yang miskin SDA sangat pesimis dengan adanya UU ini. Namun sebenarnya tidak perlu dirisaukan karena, tidaklah mungkin ini semua terjadi tanpa sinergi keduanya, demi memperkuat atau demi kemakmuran masyarakat Indonesia. Karena bisa jadi miskin SDA tapi kaya SDM, jadi diharapkan ada kombain, khususnya wilayah bertetangga, setidaknya bisa saling mendukungdengan pola regionalisasi (regional manajemen dan regional marketing). Manfaat Desentralisasi Meskipun terdapat kontroversi dalam pemberlakuan otda ini, system pemerintahan desentralistik lebih baik daripada sentralistik. Paling tidak terdapat tiga manfaat yang umumnya diharapkan dari penyelenggaraan otonomi daerah melalui desentralisasi, antara lain : Prakarsa dan kreativitas daerah dapat lebih berkembang sehingga masalah dan tantangan yang muncul di daerah dapat lebih mudah dan cepat diatasi. Beban persoalan lebih dibagi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah sehingga memungkinkan kesempatan yang lebih luas bagi pemerintah pusat untuk memusatkan perhatian (focus) pada masalah-masalah yang lebih bersifat strategis. Membuka ruang partisipasi yang lebih luas bagi masyarakat di tingkat local dan daerah sehingga mampu meningkatkan rasa keadilan dan tanggung jawab bersama dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Selain itu, Otonomi jauh lebih demokratis disbanding system yang terpusat (sentralistik), bahkan lebih menjamin adanya pluralism (tidak menggunakan pendekatan yang seragam seperti era orde baru), otonomi merupakan buah hasil orde reformasi. Karena menghindari dominasi suatu kekuasaan berdasarkan budaya atau agama atau kepercayaan/ideology tertentu. Dengan otoda maka daerah diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk mengembangkan kreatifitas atau kebijakan sendiri (daerah) sesuai dengan kebutuhannya. Diharapkan kedepan, otonomi daerah lebih mengerucut lagi ke otonomi desa, diperlukan UU baru tentang Otonomi Desa Mandiri (berbasis komunal) atau amandemen UU No.32/2004 tentang Otonomi Daerah (revisi kedua). Artinya otonomi jangan terputus sampai di tingkat kab/kota saja. Bila tidak demikian, mustahil otonomi bisa berjalan sesuai dengan harapan bersama. Bila demikian akan tercipta raja-raja kecil “tanpa kerajaan” di daerah, ini merupakan fenomena yang terjadi atau hambatan tumbuh berkembangnya cita-cita otonomi itu sendiri. Karena masyarakat desa (akar rumput), dilibatkan semata hanya formalitas belaka.


Daftar Pustaka  :


Comments

Popular posts from this blog

BAB III ( KASUS ) - Kecelakaan Proyek Tol Pasuruan-Probolinggo, 1 Tewas dan 2 Luka-luka

ISTANA TOPKAPI - Istanbul,turki

Mungkinkah Cinta ini hanya Nafsu belaka