Kritik
Arsitektur Deskriptif
Masjid
Al-Irsyad, Bandung
Muhammad
luthfi hawari, 24315695
Abstrak
Perkembangan arsitektur sangat pesat,
salah satunya perkembangan terhadap kemajuan arsitektur pada bangunan masjid, dari
dimulai pada abad ke-15 dimana Kesultanan
Utsmaniyah memperkenalkan bentuk masjid dengan kubah, dilengkapi dengan segala
ornamentnya, dimana merepresentasikan pengagungan terhadap tempat ibadah sampai
dimana sekarang berkembang hingga bentukan yang sangat sederhana namun penuh
dengan filosofi islam yang tinggi. Dengan menggunakan metode kajian pustaka dan
pengumpulan data yang diperoleh, kita semakin mengetahui arsitektur pada masjid
yang berkembang hingga saat ini bertujuan sama yakni mengagungkan tempat ibadah
namun dengan respon yang berbeda-beda.
Pendahuluan
masjid sulaiman, turki
Masjid (bentuk tidak baku: mesjid) adalah
rumah tempat ibadah umat Islam atau Muslim. Selain digunakan sebagai tempat
ibadah, masjid juga merupakan pusat kehidupan komunitas muslim.
Kegiatan-kegiatan perayaan hari besar, diskusi, kajian agama, ceramah dan
belajar Al Qur'an sering dilaksanakan di Masjid. Bahkan dalam sejarah Islam,
masjid turut memegang peranan dalam aktivitas sosial kemasyarakatan hingga
kemiliteran.
Bentuk masjid telah diubah di beberapa
bagian negara Islam di dunia. Gaya masjid terkenal yang sering dipakai adalah
bentuk masjid Abbasi, bentuk T, dan bentuk kubah pusat di Anatolia.
Arab-plan atau hypostyle adalah
bentuk-bentuk awal masjid yang sering dipakai dan dipelopori oleh Bani Umayyah.
Masjid ini berbentuk persegi ataupun persegi panjang yang dibangun pada sebuah
dataran dengan halaman yang tertutup dan tempat ibadah di dalam. Halaman di
masjid sering digunakan untuk menampung jamaah pada hari Jumat. Beberapa masjid
berbentuk hypostyle ayau masjid yang berukuran besar, biasanya mempunyai atap
datar di atasnya, dan digunakan untuk penopang tiang-tiang. Contoh masjid yang
menggunakan bentuk hypostyle adalah Masjid Kordoba, di Kordoba, yang dibangun
dengan 850 tiang. Beberapa masjid bergaya hypostyle memiliki atap melengkung
yang memberikan keteduhan bagi jamaah di masjid. Masjid bergaya arab-plan mulai
dibangun pada masa Abbasiyah dan Umayyah, tetapi masjid bergaya arab-plan tidak
terlalu disenangi.
masjid sulaiman, turki
Kesultanan Utsmaniyah kemudian
memperkenalkan bentuk masjid dengan kubah di tengah pada abad ke-15 dan
memiliki kubah yang besar, di mana kubah ini melingkupi sebagian besar area
salat. Beberapa kubah kecil juga ditambahkan di area luar tempat ibadah. Gaya
ini sangat dipengaruhi oleh bangunan-bangunan dari Bizantium yang menggunakan
kubah besar.
Masjid gaya Iwan juga dikenal dengan
bagian masjid yang dikubah. Gaya ini diambil dari arsitektur Iran pra-Islam.
Metode Penelitian
Pada penuisan kali ini penulis menggunakan
kritik arsitektur yang bersifat deskriptif
dimana dibanding metode kritik lain metode kritik deskriptif tampak lebih nyata
(faktual), Kritik deskriptif juga mencatat fakta-fakta pengalaman seseorang
terhadap bangunan atau kota. Kritik Deskriptif lebih bertujuan pada kenyataan
bahwa jika kita tahu apa yang sesungguhnya suatu kejadian dan proses
kejadiannya maka kita dapat lebih memahami makna bangunan dan juga lebih dipahami
sebagai sebuah landasan untuk memahami bangunan melalui berbagai unsur bentuk
yang ditampilkannya serta Tidak dipandang sebagai bentuk to judge atau to
interprete. Tetapi sekadar metode untuk melihat bangunan sebagaimana apa adanya
dan apa yang terjadi di dalamnya.
Metode Kritik Aspek Statis
Salah satu bentuknya yakni dengan metode Aspek Statis ( Static Aspects ) dimana Depictive cenderung tidak dipandang sebagai
sebuah bentuk kritik karena ia tidak didasarkan pada pernyataan baik atau buruk
sebuah bangunan dan sebagaimana tradisi dalam kritik kesenian yang lain, metode
ini menyatakan apa yang sesungguhnya ada dan terjadi disana Fakta yang
digambarkan dari aspek fisik sebuah bangunan dapat menjadi instrumen untuk
meningkatkan apresiasi kita terhadap sebuah karya arsitektur. Kritik Depiktif
dalam aspek statis memfocuskan perhatian pada elemen-elemen bentuk (form),
bahan (materials) dan permukaan (texture).
Pembahasan
masjid Al-Irsyad, Bandung
Masjid
Al-Irsyad merupakan sebuah masjid yang terletak di Padalarang, Kabupaten
Bandung Barat, Jawa Barat, Indonesia. Masjid ini dibangun pada tahun 2009 dan
selesai pada tahun 2010. Bentuk masjid sekilas hanya seperti kubus besar
laiknya bentuk bangunan Kubah di Arab Saudi. Dengan konsep ini, dari luar
terlihat garis-garis hitam di sekujur dinding masjid. Masjid Al-Irsyad
diresmikan pada 17 Ramadan 1431 Hijriah tepatnya 27 Agustus 2010
Desain
masjid dirancang mirip Kakbah. Warna dasarnya abu-abu. Penataan batu bata pada
keseluruhan dinding terlihat sangat mengagumkan. Batu bata disusun berbentuk
lubang atau celah di antara bata solid. Pembangunan masjid ini diarsiteki oleh
Ridwan Kamil. Dia menciptakan desain unik sebuah masjid yang memanfaatkan sinar
matahari. Pembangunan masjid menghabiskan dana sebesar Rp 7 miliar. Desain arah
kiblat dibuat terbuka dengan pemandangan alam. Saat senja, semburat matahari
akan masuk dari bagian depan masjid yang tak berdinding itu.
Dilihat
dari kejauhan, akan menghadirkan lafaz Arab yang terbaca sebagai dua kalimat
tauhid, Laailaha Ilallah Muhammad Rasulullah, yang artinya Tiada Tuhan selain
Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Kekuatan desain Masjid Al-Irsyad tampak
pada embedding teks kaligrafi Arab dengan jenis tulisan khat kufi. Bentuknya,
dua kalimah tauhid yang melekat pada tiga sisi bangunan dalam bentuk susunan
batu bata, yang dirancang sebagai kaligrafi tiga dimensi raksasa.
masjid Al-Irsyad, Bandung
Masjid
ini mempunyai luas 1.871 meter persegi hanya memiliki tiga warna yaitu putih,
hitam, dan abu-abu. Di dalam interior masjid, jumlah lampu yang dipasang
sebanyak 99 buah sebagai simbol 99 nama-nama Allah atau Asmaul Husna.
Masing-masing lampu yang berbentuk kotak itu, memiliki sebuah tulisan nama
Allah. Tulisan pada lampu-lampu itu dapat dibaca secara jelas dimulai dari sisi
depan kanan masjid hingga tulisan ke-99 pada sisi kiri bagian belakang masjid.
masjid Al-Irsyad, Bandung
Ruang
salat di masjid mampu menampung sekitar 1.500 jamaah ini. Masjid ini tidak
memiliki tiang atau pilar di tengah untuk menopang atap, Hanya empat sisi
dinding yang menjadi pembatas sekaligus penopang atapnya. Celah-celah
angin pada empat sisi dinding masjid menjadikan sirkulasi udara di ruang masjid
begitu baik, Di Bagian imam sengaja tanpa dinding artinya menggambarkan bahwa
setiap makhluk yang salat dia akan menghadap Allah. Lanskap dan ruang terbuka,
sengaja dirancang berbentuk garis-garis melingkar yang mengelilingi bangunan
masjid. Lingkaran-lingkaran yang mengelilingi masjid itu terinspirasi dari
konsep tawaf yang mengelilingi Kakbah.
Kesimpulan
Meskipun
terjadi penyederhanaan bentuk dari esensi arsitektur masjid dari abad ke-15
dimana bangunan masjid memiliki kubah dan terdapat banyak ornament hingga saat
ini namun masjid Al-Irsyad tetap memiliki tingkat kompleksitas yang tinggi dari
segi filosofi dimana jumlah lampu 99 yang melambangkan jumlah nama baik Allah
yakni asmul husna, landscape yang melingkar melambangkan gerakan perputaran
tawaf, dan masih banyak lagi. Meskipun demikian, masjid Al-Irsyad mendapatkan
penghargaan bergengsi tingkat dunia dimana hal ini menandakan penerimaan akan
penyederhanaan bentuk menjadi diterima oleh pihak-pihak terkait.
Namun
semua hal ini diharap tidak merubah sudut pandangan apapun terhadap bangunan
masjid baik dari perkataan penulis terhadap judul ini. Penulis hanya berharap
bagaimanapun bentuk masjid, bagaimana perkembangan yang terjadi dalam
arsitektur masjid apakah itu terjadi penyederhanaan dan semacamnya, tidak
membuat ibadah kita turut makin sederhana melainkan makin bersemangat untuk beribadah.
Penulis meminta maaf apabila ada kesalahan kata-kata yang menyinggung
pihak-pihak tertentu agar dapat dimaklumi dan juga berharap dapat menjadi
pelajaran bagi penulis, Terimakasih.
sumber :
Comments
Post a Comment